Sabtu, Februari 14, 2015

Jawabanku untuk Idrus Ramli ke 41




Hadits Dhaif Menurut Imam Ahmad
Muhammad Idrus Ramli menyatakan lagi:
. Imam Ahmad bin Hanbal
إِذَا رَوَيْنَا عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ وَالسُّنَنِ وَاْلأَحْكَامِ تَشَدَّدْنَا فِي اْلأَسَانِيْدِ ، وَإِذَا رَوَيْنَا عَنِ النَّبِي صلى الله عليه وسلم فِي فَضَائِلِ اْلأَعْمَالِ ، وَمَا لاَ يَضَعُ حُكْماً وَلاَ يَرْفَعُهُ ، تَسَاهَلْنَا فِي اْلأَسَانِيْدِ

Apakah kami meriwayatkan dari Rasulullah seputar permasalahan halal, haram, sunnah, dan hukum. Kami memperketat dalam menyeleksi sanad. Apabila kami meriwayatkan dari Nabi dalam fadhail al a’mal dan hal yang tidak terkait dengan hukum, kami memperlonggar dalam menyeleksi sanad.[1]
Komentar (Mahrus Ali):
Jika memang benar demikian, maka itu hanyalah sekedar perkataan Imam Ahmad bin Hanbal, yang terkadang benar tetapi kadang juga keliru, sementara kita mengiginkan kebenaran dan menghindari kekeliruan sebelum mati, karena tidak ada gunanya lagi berhati-hati setelah kita mati.
Hasan Al Mathrusi Al Atsari berkata:
الْقَوْلُ الْأَوَّلُ L(أَنَّه لَا يُعْمَلُ بِالْحَديثِ الضَّعِيفِ مُطْلَقًا ، لَا فِي الْأَحْكَامِ وَالْعَقَائِدِ وَلَا فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ)).
.وَمِمَّنْ قَالَ بذالِكَ ((الْإمَامُ الْبُخَارِيُّ ، وَالْإمَامُ مُسْلِمٌ ، وَالْإمَامُ أَبُو زَكَرِيّا النِّيسابُورِيِ ، وَالْإمَامُ أَبُو زرعةُ الرّازِيِّ ، وَالْإمَامُ أَبُو حاتِمٍ الرّازِيُّ ، وَالْإمَامُ إبن أَبِي حاتِمٍ الرّازِيُّ ، وَالْإمَامُ إبن حِبان ، وَالْإمَامُ أَبُو سُلَيْمَانِ الْخَطَّابِيِ ، وَالْإمَامُ إبنُ حَزْمٍ الظَّاهِرِيُّ ، وَالْإمَامُ أَبُو بَكْرٍ بْنُ الْعَرَبِيِّ ، وَشَيْخُ الْإِسْلامِ إبنُ تَيَّمِيَّةَ ، وَالْإمَامُ أَبُو شَامَةَ الْمَقْدِسِيِّ ، وَالْإمَامُ جَلاَلُ الدِّينِ الدّواني ، وَالْإمَامُ الشوكاني ، وَأَخْتَارَ هَذَا الْقولَ الْعَلاَّمَةُ جَمَالُ الدِّينِ الْقاسِمِيِ ، وَالْعَلاَّمَةُ حَسَنٌ صَدِيقُ خَانٍ ، وَالْمُحَدِّثُ أُحْمَدُ شَاكِرٍ ، وَالْمُحَدِّثُ الألباني ، وَالْمُحَدِّثُ مُقْبِلٌ بْنُ هَادِي الْوادِعِيِ)).
Pendapat pertama yait bahwa hadits lemah tidak boleh diamalkan secara mutlak, baik itu soal hukum akidah atau fadhail amal.
Di antara orang-orang yang mengatakan demikian antara lain; Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Zakariya Al Nisabure, Imam Abu Zar’ah Razi, Imam Abu hatim Al Razi, Imam Ibnu Hibban, Imam Abu Sulaiman Al Khatthabi, Imam Ibnu Hazm Ad Dhahiri, Imam Abu Bakr bin Al Arabi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Imam Abu Syama Maqdisi, Imam Jalaluddin Aldawani, Imam Syaukani.
Pendapat ini dipilih oleh jamaluddin Al Qasimi, Al Allamah Hassan Siddiq Khan, Al Muhaddits Ahmad Syakir, Al Muhaddits Albani, Al Muhaddits Muqbil bin Hadi Alwadii).
Komentar (Mahrus Ali):
Ibnu Taimiyyah memiliki pertimbangan lain, yaitu hadits dhaif bisa diamalkan dengan lima syarat, salah satunya yakni hadits lemah tersebut harus mendapat dukungan dari hadits sahih, tidak terlalu lemah dan tidak bertentangan dengan hadits sahih.
وَقَالَ الْحافِظُ إبن رَجَبَ الْحَنْبَلِيِ وَظاهِرُ مَا ذَكَرَهُ مُسْلِمٌ فِي مُقَدِّمَتِهِ (يَعْنِيَ الصَّحِيحَ) يَقْتَضِي أَنَّه لَا تُرْوَى أَحادِيثُ التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ إلّا مِمَّنْ تُرْوَى عَنْه الْأَحْكَامُ “[ شَرْحُ عِلَلِ التِّرْمِذِيِّ
Al Hafizh ibnu Rajab Al Hambali berkata, “Apa yang disebutkan oleh Muslim dalam mukadimahnya menunjukkan bahwa hadits targhib atau tarhib (hadits yang menakut-nakuti dan memberikan motivasi), tentang hukumnya harus diriwayatkan oleh perawi-perawi hadits. (Lihat Syarah Ilal Tirmidzi/112/2).
Komentar (Mahrus Ali):
Berdasarkan penrnyataan tersebut Imam Muslim mengharuskan –sekalipun- untuk hadits yang memberi motivasi atau menakut-nakuti, tetap saja hadits tersebut memiliki derajat yang sahih, bukan hadits lemah atau dari perawi yang lemah. Padahal, kalangan ahli bid’ah biasanya membolehkan menggunakan hadits lemah untuk memberi motivasi atau menakut-nakuti. Hal demikian bertentangan dengan Imam Muslim, karena pada hakikatnya ulama ahli bid’ah itu juhala (bodoh) tentang hadits dan Quran.
وَقَالَ الْإمَامُ إبن الْعَرَبِيِّ لَا يَجُوزُ الْعَمَلُ بِالْحَديثِ الضَّعِيفِ مُطْلَقًا لَا فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ وَلَا فِي غَيْرَهَا “[ تَدْرِيبُ الرَّاوِي
Imam Ibnu Arabi berkata, “Tidak diperkenankan menggunakan hadits lemah secara mutlak, baik untuk fadhail amal, atau lainnya.” (Tadribur Rawi 252/1).
وَقَالَ الْإمَامُ إبن الْجَوْزِيِ إِنَّ قَوْمًا مِنْهُمْ الْقَصَّاصُ كَانُوا يَضَعُونَ أَحادِيثَ التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ ، وَلبَّسَ عَلَيهِمْ إبْلِيسُ بِأَنَّنَا نَقْصِدُ حَثَّ النَّاسِ عَلَى الْخَيْرِ وَكَفَّهُمْ عَنِ الشَّرِّ ، وَهَذَا إفتأت مِنْهُمْ عَلَى الشَّرِيعَةِ ؛ لِأَنَّهَا عِنْدَهُمْ عَلَى هَذَا الْفِعْلِ نَاقِصَةٌ تَحْتَاجُ إِلَى تَتِمَّةٍ ، ثُمَّ نَسُوا قَوْلَهُ (r مَنْ كَذَبَ عَلِيَّ مُتَعَمِّداً فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ)“[ تَلْبيسُ إبْلِيسَ (ص124)
Imam Ibnul Jauzi berkata. “Sesungguhnya suatu kaum di antara mereka adalah para dalang atau penceramah yang membuat hadits-hadits untuk memotivasi atau menakut-nakuti, lalu Iblis yang menyamarkan mereka, kita ini bermaksud memberikan dorongan kepada manusia untuk melakukan kebaikan dan mencegah mereka dari kejahatan. Ini adalah cara setan untuk mengurangi syariat, sebab dengan perbuatan ini syariat menjadi kurang, dan masih perlu disempurnakan. Lalu mereka lupa terhadap sabda rasulullah, “Barangsiapa membuat kedustaan kepadaku dengan sengaja, maka hendaklah mereka menyiapkan tempat duduknya di neraka.”
وَقَالَ شَيْخُ الْإِسْلامِ إبْنُ تَيْمِيَّةَ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُعْتَمَدَ فِي الشَّرِيعَةِ عَلَى الْأَحادِيثِ الضَّعِيفَةِ الَّتِي لَيْسَتْ صَحِيحَةً وَلَا حَسَنَةَ “[ الْقَاعِدَةُ الْجَلِيلَةُ فِي التَّوَسُّلِ وَالْوَسِيلَةِ (ص82)].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Tidak diperkenankan ber-hujjah dengan hadits-hadits lemah, yang tidak sahih dan tidak hasan untuk menetapkan syariat. (Lihat Al Qaidah Al jalilah Fii Tawassul Wal Wasilah/ jlm. 82).
وَقَالَ أيضاً وَلَمْ يَقُلْ أحَدُ الْأئِمَّةِ أَنَّه يَجُوزُ أَنْ يُجْعَلَ الشَّيْءُ وَاجِبًا أَوْ مُسْتَحَباًّ بِحَديثٍ ضَعِيفٍ ، وَمَنْ قَالِ هَذَا فَقَدْ خَالَفَ الْإِجْمَاعَ “[ مَجْمُوعُ الْفَتَاوَى ( 1 / 250 )].
Ibnu Taimiyyah berkata lagi, “Salah seorang imam atau tokoh agama tidak pernah mengatakan tentang bolehnya mengatakan sesuatu itu wajib atau sunnah dengan hadits lemah. Barangsiapa yang berkata demikian, maka sesungguhnya ia telah menyalahi ijma’. (Lihat Majmu Fatawa 250/1).
وَقَالَ الْعَلَّامَةُ اللكنوي وَيُحْرَمُ التَّسَاهُلُ فِي (الْحَديثِ الضَّعِيفِ) سواءٌ كَانَ فِي الْأَحْكَامِ أَوِ الْقَصَصِ أَوِ التَّرْغِيبِ أَوِ التَّرْهِيبِ أَوِ غَيْرِ ذالَكَ “[ الْآثَارُ الْمَرْفُوعَةُ فِي الْأَخْبَارِ الْمَوْضُوعَةِ (ص21)].
Al Allamah Alloknowi berkata, “Diharamkan gegabah dalam masalah hadits lemah, baik untuk hokum-hukum, kisah-kisah, pemberi semangat, menakut-nakuti, dan lain-lain. (Al Atsar Marfu’ah Fil Akhbar Al Maudhu’ah, hlm. 21).
وَقَالَ الْعَلَّامَةُ جَمَالُ الدِّينِ الْقاسِمِيِ إعلم أَنَّ هُنَاكَ جَمَاعَةً مِنَ الْأئِمَّةِ لَا يَرَوْنَ الْعَمَلَ بِالْحَديثِ الضَّعِيفِ مُطْلَقًا كَابْنِ مَعِينٌ وَالْبُخارِيِ وَمُسْلِمٍ وَأَبِي بَكْرٍ بْنِ الْعَرَبِيِّ وإبن حَزْمَ “[ قَوَاعِدُ التَّحْدِيثِ (ص113)].
Al Allamah Jamaluddin Al Qasimi berkata, “Ketahuilah bahwa ada golongan imam (tokoh ulama) yang tidak berpendapat bahwa melaksanakan sesuatu dengan dasar hadits lemah secara mutlak, seperti; Ibnu Ma’in, Bukhari, Muslim, Abu Bakar bin Al Arabi, dan Ibnu Hazm. (Qawaid Lughoh, hlm. 113).
وَقَالَ الْعَلَّامَةُ حَبيبُ الرَّحْمَنِ الأعظمي وَلَكِنَّ الْحَديثَ قَدْرَ مَا كَانَ بَعيدًا عَنْ وَسْمَةِ الضُّعْفِ ، وَنَقِيًّا مِنْ شَائِبَةِ الْوَهْمِ ، كَانَ أَشَدَّ وَقْعًا فِي الْقَلُوبِ وَتَأْثِيرًا فِي النُّفُوسِ لِزِيادَةِ الثِّقَةِ بِهِ ، وَاِطْمِئْنانِ النَّفْسِ إِلَيه “[ مُقدمة مُخْتَصَرِ التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ (ص06)].
Al Allamah Habiburrahman Al A’Dhumi berkata, Tetapi sebuah hadits apabila ia telah jauh dari tanda kelemahan dan bersih dari campuran praduga, maka akan lebih berpengaruh dalam hati dan berbekas dalam jiwa karena bisa dipercaya dan jiwa pun tenang karenanya. (Mukaddimah Mukhtasar Targhib wa Tarhib, hlm. 6).
وَقَالَ الْمُحَدِّثُ أَحْمدُ شَاكِر:  وَالَّذِي أَرَاهُ أَنَّ بَيَانَ الضُّعْفِ فِي الْحَديثِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ حالٍ ، وَلَا فَرْقَ بَيْنَ الْأَحْكَامِ وَبَيْنَ فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ وَنَحْوِهَا فِي عَدَمِ الْأخْذِ بِالرِّوايَةِ الضَّعِيفَةِ ، بَلْ لَا حُجَّةَ لِأحَدٍ إلّا بِمَا صَحَّ عَنْ رَسُولِ اللهِ مِنْ حَديثٍ صَحِيحٍ أَوْ حَسَنٍ “[ الْبَاعِثُ الْحَثيثُ (ص101)].
Seorang pakar hadits, Ahmad Syakir berkata, “Menurut pendapatku menerangkan kelemahan hadits adalah wajib dalam setiap keadaan. Tidak ada perbedaan antara hadits-hadits hukum dan keutamaan amal, dalam hal tidak boleh menggunakan riwayat yang lemah. Tidak boleh seseorang ber-hujjah kecuali dengan hadits yang sahih atau hasan.” (Lihat Al Baitsh Al Hatsis, hlm. 101).
وَهَذَا الْقَوْلُ إخْتَارَهُ الْمُحَدِّثُ مُحَمَّدُ نَاصِرُ الدِّينِ الألباني [ أُنْظُرْ صَحِيحَ التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ (1 / 47)].
Pendapat ini telah dipilih oleh pakar ahli hadits Muhammad Nashiruddin Al Albani. (Lihat. Shahih Targhib wa Tarhib).

وَقَالَ رَحِمَهُ اللهِ الْعَمَلُ بِالضَّعِيفِ فِيه خِلاَفٌ عِنْدَ الْعُلَمَاءَ ، وَالَّذِي أُدِينُ اللهَ بِهِ ، وَأَدْعُوا النَّاسَ إِلَيه ، أَنَّ الْحَديثَ الضَّعِيفَ لَا يُعْمَلْ بِهِ مُطْلَقًا لَا فِي الْفَضَائِلِ وَلَا المُسْتَحَبَّاتِ وَلَا غَيْرِهَا “[ صَحِيحُ الْجَامِعِ الصَّغِيرِ وَزِيادَتَهُ ( 1 / 49 )].
Beliau –rahimahullah- berkata, “Melaksanakan sesuatu dengan berdasar pada hadits lemah adalah khilaf di antara ulama. Apa yang kujadikan sebagai ibadah kepada Allah, kemudian aku mengajak manusia padanya. Hadits lemah sama sekali tidak boleh diamalkan baik untuk fadhail amal atau sunnah, dan lain-lain.” (Shahihul Jami’ Shaghir Wa Ziyadatuh, 49/1).
وَقَالَ أيضاً وَخُلاصَةُ الْقَوْلِ أَنَّ الْعَمَلَ بِالْحَديثِ الضَّعِيفِ فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ لَا يَجُوزُ الْقَوْلُ بِهِ عَلَى التَّفْسِيرِ المرجوح هُوَ لَا أَصْلَ لَهُ ، وَلَا دَليْلَ عَلَيه “[ تَمامُ الْمِنَّةِ (ص38)].
Beliau juga menyatakan, “Kesimpulannya adalah, mengamalkan hadits lemah baik untuk fadhail amal atau yang lainnya tidak dibolehkan. Menyatakan boleh ber-hujjah dengan hadits lemah tidak ada dalilnya dan tidak ada asalnya, ini adalah tafsir yang marjuh (tidak tepat).
وَقَالَ الْمُحَدِّثُ مُقْبِلُ بْنُ هَادِي الْوادِعِيِ وَالْعُلَمَاءُ الَّذِينَ فَصَّلُوا بَيْنَ الْحَديثِ الضَّعِيفِ فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ وَبَيْنَهُ فِي الْأَحْكَامِ وَالْعَقَائِدِ ، يَقُولَ الْإمَامُ الشوكاني رَحِمَهُ اللهَ فِي كِتَابِهِ (الْفَوَائِدُ الْمَجْمُوعَةُ)L(إِنَّه شَرَعَ ، وَمِنْ أدَّعَى التَّفْصِيلَ فَعَلَيه بِالْبُرْهَانِ))، وَالْأَمْرُ  مَا يَقُولُ الشوكاني رَحِمَهُ اللهَ ، وَالنَّبِيَّ r يَقُولُ ((مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَديثٍ يرى أَنَّه كِذْبْ فَهُوَ أحَدُ الْكَذَّابِينَ))“[ الْمُقْتَرَحُ فِي أَجْوِبَةِ أسْئِلَةِ الْمُصْطَلَحِ (السُّؤَالَ 213)(ص108)].
Seorang pakar hadits, Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i berkata, “Ulama yang memisahkan antara hadits dhaif dalam fadhilah amal, hadits hukum dan akidah, Imam Syaukani –rahimahullah- berkata dalam kitabnya Al Fawaid Al Majmu’ah, ‘Dia berarti telah membuat syariat. Barangsiapa yang mengaku telah membuat perbedaan (antara masalah hukum dan fadhilah amal), maka dia harus mendatangkan dalil.
Kebenaran dalam hal ini adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syaukani –rahimahullah-, dan Nabi bersabda, “Barangsiapa yang menceritakan suatu hadits yang dia anggap sebagai kedustaan, maka dia termasuk seorang pendusta. (lihat kitab Al Muqtarah Fii Ajwibati Amtsilatil Mushthalah, pertanyaan 213/ hlm. 108).


[1] Kiai NU atau Wahabi Yang Sesat Tanpa Sadar?/ hlm. 29
Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan