Kamis, Juli 09, 2015

Perjalanan wildan Mukhallad ke daulah Islamiyah

 
 
 
Ketika itu usianya masih 16 tahun, nama Wildan Mukhallad sudah menjadi perbincangan di pesantren dimana ia tinggal. Remaja yang polos, lugu, yang tak banyak mengenal pergaulan luar lagi liar. Namun polos dan lugunya bukan berarti kebodohan, sebab polos dan lugunya adalah kejujuran, ketulusan, dan apa adanya.
Belum ada hingga kini, di pesantrennya, seorang santri yang setara ‘alimnya dengannya. Betapa tidak, setiap tahun seolah menjadi hari miliknya untuk merayakan juara umum di pesantren. Hampir nilai seluruhnya adalah mumtaz. Dan di usia 16 tahun itu pula, ia menjadi seorang hafidz, satu-satunya santri yang hafidz. Tak pelak, kitab-kitab hadiah hasil deretan prestasi sempat memenuhi tumpukan buku di meja rumahnya.
“Belum ada sampai saat ini,” kisah salah seorang ustadz di pesantrennya,“santri yang selalu mendahului ustadz dan santri lainnya untuk bangun jam tiga malam dan menuju masjid. Melaksanakan shalah tahajjud dan menunggu waktu shubuh sembari muraja’ahhafalannya. Kecuali Wildan.”
Ya, Wildan Mukhallad. Hidupnya adalah kesibukan. Kesibukan dalam menghambakan diri kepada Rabb-nya, kesibukan dalam menenggelamkan diri dengan ilmu dan Al-Quran.
foto-wildan-mukhollad-anggota-isis-asal-indonesia-yang-tewas
Ia dikenal sebagai santri yang ringan tangan. Suka membantu orang lain. Pekerjaan mengantar-jemput anak-anak ustadznya ke sekolah, hingga membantu mengambilkan rumput ke ladang/sawah untuk pakan ternak milik ustadznya adalah hal biasa. Sangat biasa. Tidak ada dalam kamusnya sikap gengsi, tidak ada dalam benaknya sekecil amal shalih yang dianggap dapat menjatuhkan harga diri. Disinilah ia memulai tahap berjihad, dari memerangi hawa nafsu yang remeh temeh hingga pada akhirnya menerjunkan diri dalam berjihad memerangi orang-orang kafir.
Jangan ditanya soal pemahaman ilmu syar’i, sebab ketinggian ilmunya adalah ketinggian rendah hatinya. Pemalu, pendiam, dan santun pada setiap lawan bicaranya. Tidak banyak mengumbar kata, tidak banyak mengumbar bicara. Tetapi tindak tanduknya adalah mengesankan, ketekunan ibadahnya adalah mengagumkan. Anak sekecil itu, waktu itu, adalah tidak wajar dalam hampir setiap tema bicaranya adalah kepedulian terhadap nasib kaum muslimin. Ia seringkali mengucap kalimat yang seolah menjadi dzikir dalam kesehariannya; jihad fi sabilillah.
Sempat menjadi kebingungan, sekaligus kekhawatiran keluarga. Bagaimana mungkin anak sekecil itu sudah begitu serius mengucap kata-kata jihad dan mati syahid. Tetapi kekokohan Wildan adalah kekokohan imannya.
Sehingga ketika ia harus dipindahkan dari pesantrennya untuk bersekolah setara SMA di Al-Azhar, Mesir, ia berucap samar kepada salah seorang kakaknya saat berpamitan, “Kak, doakan.” Suara itu terdengar seperti nada ucapan ‘licik’, yaitu agar di sana ia menemukan jalan untuk berjihad. Wallahu a’lam.
Di Mesir, di sekolahnya itu ia tetaplah remaja yang cerdas. Ia bahkan sempat mengikuti program akselerasi. Tak berselang lama kemudian, ketika ia baru saja menjadi Mahasiswa Al-Azhar, ia tiba-tiba menghilang setelah beberapa waktu intens bergumul dengan orang-orang luar negeri. Dan benar, beberapa waktu setelahnya ia muncul dengan nomor telepon yang tak dikenal, “Alhamdulillah, saya sudah di bumi Syam. Bumi yang dimuliakan Allah.”
Masya Allah, Masya Allah. Antara sedih dan bahagia, antara khawatir dan gegap gempita. Tetapi di saat ia ditangisi oleh anggota keluarga, ia justru hadir sebagai menghibur, “Nikmat jihad tidak dapat terlukiskan!” katanya.
Ia bahkan sempat bercanda ketika menceritakan betapa indah selama perjalanan melihat pegunungan-pegunungan di Istanbul, bergaya seperti pemuda kaya raya, dan menikmati view dataran tinggi yang berlapis salju. “Ini saya lagi bertamasya,” katanya. “Dan tamasyanya orang-orang yang beriman adalah jihad fi sabilillah.”
Ia bercerita ketika awal di Suriah masih sekadar menjadi “pembantu”, menjadi anak yang diperbantukan mengambilkan peluru dan senjata. Kemudian naik pangkat menjadi “polisi lalu lintas”, lalu ditugaskan untuk ribath di pegunungan, sampai pada puncaknya berdiri di front terdepan pertempuran.
“Saya berdiri hanya berjarak empat meter dari orang-orang Syiah Nushairiyah. Kita berhadap-hadapan dan saling ejek, tapi sekali gertak mereka lari tunggang langgang. Mental mereka sangat rendah di hadapan para Mujahidin,” serunya sembari berbagi tawa.
Aleppo, tempat pertama ia singgah, di sebuah villa di pegunungan. “Villa yang saya tempati ini hasil ghanimah, miliknya orang kafir Syiah,” ucapnya riang.
Di sana, disamping karena ia adalah seorang hafidz, ia juga memiliki suara emas sehingga ia dipercaya untuk menjadi imam shalat para Mujahidin.Seluruh masyarakat tetangga menyambut baik, sehingga suatu saat ia bercerita, “Baru kali ini saya merasa menjadi orang kaya. Memegang uang banyak. Semuanya dikasih oleh tetangga-tetangga.”
Disamping itu ia dikenal sebagai seorang remaja yang mumtaz akhlaknya oleh para mujahidin. Kehadirannya sebagai seorang mujahid remaja sangat disegani, dihormati, dan diakui kualitas akhlak dan ibadahnya.
Kemudian di titik inilah, dengan nada yang begitu tenang ia menyampaikan sebuah pesan yang menggetarkan, “Saya tidak bisa membalas kebaikan Ma’e (ibu), saya hanya ingin memberikan kepadanya hadiah, syahid fi sabilillah.”
Tak berselang lama setelah itu tibalah saatnya ia berpindah tempat tugas, di suatu tempat yang tidak ia sebutkan. Namun di suatu hari semua itu menjadi tampak jelas, bahwa ia telah berada di Irak. Kabar tersebut hadir seiring dengan datangnya berita bahwa ia telah melakukan amaliyah istisyhadiyah, meluluh-lantakkan barisan pasukan rezim Syiah Shafawiyah, Nuri Al-Maliki. Allahu Akbar, Allahu Akbar!
Inilah Wildan Mukhallad. Remaja yang di media-media sekular disebut sebagai remaja ingusan yang mati konyol, yang mati sangit, oleh wartawan-wartawan yang mencari makan dan mengisi perutnya dengan cara menyakiti hati hamba Allah yang ikhlas.
Inilah Wildan Mukhallad. Remaja yang dibenci karena kekokohan aqidahnya, bukan karena keburukan akhlaknya. Ia menjemput kematian dengan ilmunya, bukan dengan kebodohannya.Wallahu a’lam bil-haqqi wal-waqi’.
Tulisan ini sekaligus surat untuk Ibu Fadhilah, agar teduh hatinya setelah beberapa minggu dihujani badai fitnah. Ibu yang kokoh hatinya, sekokoh prinsip anakmu yang memilih jalan kesyahidan
Artikel Terkait

2 komentar:

  1. subhanallah.....surga merindukan ong sepertimu..

    BalasHapus
  2. subhanallah.....surga merindukan ong sepertimu..

    BalasHapus

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan